Selasa, 03 Agustus 2010

Potensi Bencana di Jateng

SEMARANG, KOMPAS - Daerah rawan longsor yang masuk zona merah di Jawa Tengah meluas dari 3.667 kilometer persegi pada tahun 2002 menjadi 7.059 kilometer persegi pada tahun 2009. Kondisi ini dipicu maraknya alih fungsi lahan yang tidak terkendali.

Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, jumlah lokasi rawan longsor juga bertambah dari 538 desa/kelurahan di 117 kecamatan menjadi 2.024 desa/kelurahan di 247 kecamatan, yang tersebar di 27 kabupaten/kota di Jateng.

"Yang paling banyak menjadi penyebab adalah pembukaan lahan hijau hasil aktivitas manusia," ujar Kepala Bidang Geologi, Mineral, dan Batu Bara Dinas ESDM Jateng Soeseno dalam Seminar "Penanggulangan Tanah Longsor" di Semarang, Selasa (18/5).

Daerah yang paling banyak memiliki lokasi rawan longsor terdapat di Kabupaten Temanggung (274 desa), Wonosobo (260 desa), Banyumas (238 desa), dan Kabupaten Magelang (163 desa).

Soeseno mengungkapkan, pembukaan lahan yang kebanyakan digunakan untuk pertanian, permukiman, dan industri menjadi penyebab utama longsor karena mengurangi daya dukung tanah.

Kepala Bidang Informasi Pusat Lingkungan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dodid Murdohardono menuturkan, selain tata guna lahan, kerentanan gerakan tanah juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng, karakteristik tanah dan batuan, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan.

Maraknya alih fungsi lahan di berbagai daerah tidak terlepas dari belum dimasukkannya struktur geologi sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian izin pembangunan. "Ketidaktahuan akan hal ini justru akan membuat pembangunan yang merusak lingkungan dan berdampak pada bencana," kata Dodit.

Sementara, Pranoto dari Pusat Studi Bencana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada diskusi "Integrasi Pengurangan Risiko Bencana" di Universitas Katolik Soegijapranata, Selasa (18/5), menyatakan, Jateng memiliki jenis bencana paling komplet di Indonesia. Sayangnya, penanganan bencana belum terkoordinasi dengan baik sehingga perlu dibentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB).

"Selama ini, penanganan bencana dilakukan setelah terjadi bencana, baik bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, maupun kebakaran. Penanganan bencana memerlukan manajemen lebih komprehensif," kata Pranoto.

Pranoto menjelaskan, penanganan bencana gempa bumi di Bantul dan Klaten pada 2006 menunjukkan bahwa kepedulian untuk membantu korban bencana sangat tinggi. Namun, kepedulian tanpa pengelolaan yang terarah dan sinergis justru menimbulkan kegiatan yang tumpang tindih. Ada korban yang mendapat bantuan, banyak pula yang belum terbantu. (ILO/WHO)

Kompas Edisi Jawa Tengah | Rabu, 19 Mei 2010 | 16:13 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar