Sabtu, 31 Juli 2010

Mahasiswa Primitif

Apa yang ada dalam pikiran kita jika hampir setiap hari menyaksikan generasi terdidik kita tawuran? tentu bermacam-macam. Sedih, kecewa, dan tentu saja bingung. Inilah akibatnya kalau anak-anak kita dibesarkan dengan cara yang tidak tepat. Mahasiswa cenderung menggunakan batu, senjata tajam, dan media kekerasan yang lain, maka tidak heran kalau Pak JK menyebut mahasiswa Makassar Primitif. Sebutan itu tentu saja bukan untuk mahasiswa makassar saja, tapi juga untuk mahasiswa di kota lain yang mempunyai kecenderungan sama.

MAKASSAR, KOMPAS.com - Maraknya aksi tawuran antarmahasiswa yang seolah tak kunjung reda di Makassar rupanya meresahkan Muhammad Jusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden yang juga berasal dari Makassar itu prihatin karena masih banyak mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan yang bersikap layaknya manusia primitif.
"Saya katakan primitif, karena mahasiswa tersebut lebih banyak menggunakan batu dan api daripada nalar masing-masing," tuturnya di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Sabtu (31/7/2010).
Hal tersebut diungkapkan Jusuf Kalla sebagai respons atas aksi kekerasan yang kerap terjadi di Makassar, baik unjuk rasa anarkis, maupun tawuran antarmahasiswa.Menurutnya, sebagai orang terdidik, seharusnya mahasiswa lebih mengutamakan logika dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
"Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian besar tawuran ini dikarenakan persoalan yang sepele dan tidak perlu sampai menggunakan kekerasan," ungkapnya.Bahkan, sambung Kalla, banyak aksi kekerasan yang justru dilakukan oleh mahasiswa dari kampus-kampus besar seperti Universitas Hasanuddin, UNM, dan Universitas Muhammadiyah Makassar.
"Sangat menyedihkan ketika melihat mahasiswa membakar kampus yang merupakan sarana pendidikan, dan lempar-lemparan batu, apalagi mahasiswa yang saling berkelahi hanya karena ingin mempertahankan eksistensi," paparnya.
Ia mengatakan, masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dengan karakter keras, dinamis, dan suka berterus terang. "Karakter itulah yang harus disandingkan dengan dunia pendidikan ke arah yang lebih positif," katanya.
Oleh karena itu, peran rektor sangat penting untuk bisa segera mengatasi persoalan tersebut. "Rektor harus tegas. Kalau ada mahasiswa yang bertindak anarkis, hanya ada dua pilihan, yaitu tetap kuliah dengan syarat tidak lagi melakukan aksi anarkis atau drop out (keluar)," tandas Kalla.

Tentu kita menginginkan kedepan mahasiswa kita lebih beradab dan menghargai orang lain, karena kelompok terpelajar pasti harus berbeda dengan kelompok masyarakat lain.

Senggolan Membawa Amarah

Sebagai masyarakat Indonesia nampaknya kita sudah lelah terus dipuji. Pujian yang selalu melekata ke kita adalah masyarakat yang ramah, memuliakan tamu, tepo seliro, dan rukun agawe santosa.
Lihatlah, pujian-pujian itu nampaknya tak berbekas. Kita mudah tersulut amarah dengan sebab yang sepele bahkan tidak jelas. Arena pemilu, pilkada, mantenan, dangdutan, bahkan pengajian menjadi lahan mengungkapkan amarah kita. Tak pelak, banyak bentrokan yang sering kita saksikan. Inikan wajah kita yang sebenarnya?
Bentrokan yang melibatkan massa FBR dengan warga Rempoa nampaknya semakin menegaskan pernyataan saya. Hanya karena faktor sepele.

Tangerang - Ratusan anggota Forum Betawi Rempug (FBR) bentrok dengan warga Rempoa, Tangerang. Diduga bentrokan terjadi akibat masalah sepele yakni masalah pencopotan bendera FBR.
Menurut salah seorang warga Rempoa, Zakaria saat ditemui detikcom di lokasi, Minggu (1/8/2010), beberapa hari lalu anggota FBR memasang bendera di sekitar jalan Rempoa. Sebagian besar warga Rempoa ternyata tidak mengizinkan FBR memasang bendera di wilayahnya.
"4 hari lalu itu kita minta orang FBR buat nyabutin benderanya karena kita ngga senang di lokasi sini ada bendera-bendera FBR," kata Zakaria dengan logat betawi.
Warga sempat meminta anggota FBR mencabut bendera yang sudah terpasang. Akhirnya, beberapa anggota FBR menuruti permintaan tersebut.
"Rupanya mereka ngga seneng kita minta benderanya dicabut tiba-tiba tadi malem ratusan orang datang," ucapnya.Kedatangan massa FBR lantas mendapat perlawanan dari warga setempat. Bentrokan pun tak terhindarkan.
"Mereka nyerang kita ya kita seh bertahan aja terus mereka dipukul mundur. Karena warga kesel tadi jam 21.00 dan 22.00 WIB kita bakar benderanya," tandasnya.
Pantauan detikcom, warga masih berjaga-jaga di sekitar lokasi. Menurut informasi sebuah klinik dokter rusak akibat terkena lemparan batu dan amuk massa. Situasi di sepanjang lokasi kini berangsur pulih. Sebanyak 32 anggota FBR ditangkap polisi berikut dengan barang bukti berupa senjata tajam, balok dan bambu.
(ape/gah)

Kita ini seperti atlit amatir. Kalau penampilan kita bagus, terus mendapat banyak tepuk tangan, kita larut dengan gema tepuk tangan, dan akhirnya kita lengah. Ah, semoga nggak juga. Sikap kita yang masih naif dan primordial, semoga hanya gangguan sementara

Sekolah Internasional

SBI itu Sekolah Berstandar internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional sih? begitu pertanyaan yang sering keluar dari kepala saya. Setelah saya cek, ternyata SBI itu Sekolah Bertaraf Internasional.
Agak bingung juga sih, sebab dibawah level itu ada sekolah yang menyatakan diri sebagai SSN (Sekolah Standar Nasioanl), sehingga pada awalnya jika saya menggunakan logika hierarki saya, maka mestinya dari SSN menuju SSI. dari Sekolah Standar Nasional menjadi Sekolah Standar internasional. Makanya saya tidak heran kalau ada anggota DPR yang salah dalam menerjemahkan akronim SBI. Lihat saja tulian ini yang sa ambilkan dari Kapanlagi.com - Rabu, 21 Jul.

Artis yang juga anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, menilai lembaga pendidikan berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) cenderung menciptakan pola diskriminatif, sehingga tujuannya untuk meningkatkan kecerdasan sebanyak mungkin generasi muda Indonesia terancam gagal.

Dalam kenyataan di lapangan, RSBI lebih menonjolkan kemewahan fasilitas, ketimbang rangsangan meningkatkan kualitas.

"Jadilah RSBI, juga Sekolah Berstandar Internasional (SBI) lebih bermakna status sosial bagi anak-anak dari keluarga berada, sementara mereka yang kurang mampu membayar mahal 'status' RSBI atau SBI terpinggirkan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (20/07).

Jadi, menurut mantan Putri Indonesia ini, RSBI dan SBI bisa lebih memicu kesenjangan di antara sesama anak bangsa,dan karenanya terkesan atau cenderung diskriminatif.

"Karena lebih menonjolkan fasilitas yang lebih baik ketimbang sekolah lain, sehingga dapat menimbulkan diskriminasi di kalangan peserta didik. Tegasnya, esensinya kurang mendapatkan porsi memadai, sehingga tidak terlalu signifikan dengan kualitas 'output', tegasnya.

Karena itu, menurutnya, perlu dicari formulasi baru, agar keberadaan RSBI benar-benar. Sesuai dengan yang diharapkan.

"Itulah sebabnya banyak anggota masyarakat minta dilakukan peninjauan ulang atas eksistensi RSBI ini, mengingat banyak kerancuan di lapangan, dan ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan," ungkap Angelina Sondakh lagi. (ant/dar).

Tidak penting apakah penerjemahannya betul atau salah, yang jelas kita menginginkan sekolah dengan label internasonal dapat mengakomodasi siswa kurang mampu dengan menerapkan subsidi silang, yang mampu membantu yang tidak mampu. kalau itu terwujud, indah sekali kan?


Mental Wakil-wakil Kita di DPR

Bolos, kinerja rendah, itulah yang ditamplkan wakil-wakil kita di DPR. Pernyataan tersebut mengacu pada fakta yang telah diungakap oleh berbagai media massa yang sumbernya dapat dipertanggungjawabkan. Reaksi mereka juga sangat reaktif ketika publikasi anggota DPR yang suka mbolos dibuka ke publik. Ini sangat mengecewakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Eryanto Nugroho, menilai reaksi negatif beberapa anggota DPR atas pelaksanaan keterbukaan informasi soal daftar hadir oleh Setjen DPR berpotensi mengancam keterbukaan informasi. "Bahkan itu melanggar peraturan keterbukaan informasi yang dibuat DPR sendiri," ujar Eryanto, Sabtu (31/7), di Jakarta.

Menurut dia, DPR sebagai pembentuk UU Keterbukaan Informasi Publik, yang bahkan juga telah memiliki Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang KIP, seharusnya menjadi contoh pelaksanaan keterbukaan informasi. Dengan menyediakan informasi daftar hadir ini, imbuh Eryanto, Setjen DPR justru melaksanakan kewajiban menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik.

Ia menambahkan, hal ini pun diperintahkan oleh Pasal 6 ayat (1) Peraturan KIP di DPR. Eryanto mengungkapkan, daftar hadir bukanlah informasi publik yang dikecualikan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) peraturan tersebut.

"DPR harus menyambut baik keterbukaan informasi yang dilaksanakan oleh Setjen DPR. Mereka harus menjadikan informasi publik itu sebagai instrumen evaluasi kinerja DPR," jelas Eryanto.